Saat ini Indonesia menduduki posisi nomor tiga di dunia sebagai penghasil kakao, dan 70 persen antaranya dihasilkan dari wilayah Sulawesi. Dengan kedudukan di nomor tiga Indonesia memiliki produksi kurang dari 800 ribu ton kakao setelah Pantai Gading dan Ghana. Bila dilihat dari produktivitas maka Indonesia memerlukan cara-cara produksi yang lebih baik agar produktivitas tidak dibawah negara lain. Indonesia masih mengkespor kakao dalam wujud biji kering dan nilai tambahnya kurang terhadap perekonomian Indonesia.
Bila Indonesia hendak masuk sebagai produsen kakao terbesar di dunia, produksi kakao perlu ditingkatkan menjadi 1,5 juta ton per tahun. Sulawesi perlu melakukan peremajaan untuk bisa meningkatkan produktivitas, pola pembiayaannya bisa menggunakan kredit usaha rakyat (KUR) yang akan mengurangi beban APBN dan alokasi dana untuk bibit dapat semakin besar melalui relokasi APBN dari anggaran peremajaan kepada pembibitan. Melalui peremajaan maka sangat diharapkan terjadi perubahan produktifvitas.
Komoditi yang diekspor dari Indonesia lebih banyak berupa cocoa beans, whole or broken, raw or roasted untuk diolah di negara tujuan menjadi produk cokelat olahan. Biji kakao Indonesia memiliki keunggulan melting point Cocoa Butter yang tinggi, serta tidak mengandung pestisida dibanding biji kakao dari Ghana maupun Pantai Gading. Negara-negara tujuan ekspor kakao selama ini adalah Tiongkok, Thailand, Malaysia, Amerika Serikat dan Jerman.
Melihat lahan Indonesia yang besar dan subur, potensi untuk menjadi produsen terbesar dunia dapat diraih apabila masalah utama perkebunan kakao dapat diatasi. Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana mengelola perkebunan coklat ini dengan peralatan dan sarana produksi yang memadai.Selain itu pengembangan industri hilir kakao perlu dikembangkan, dengan sumber bahan mentah kakao yang berlimpah, Indonesia mampu melakukannya. Kerjasama bilateral antar negara perlu dikembangkan khususnya dengan negara pengolah coklat seperti Amerika dan Eropa.